Momentum pergantian Presiden selalu di-ikuti dengan euforia pasar saham, entah positif ataupun negatif. Yang pasti para investor berlomba-lomba dalam mencari ruang keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada grafik di atas menjelaskan return yang terjadi dalam setiap proses pemerintahan baru berlangsung. Pengumuman ketika Jokowi ditetapkan sebagai pemenang pemilu di bulan (Juli-14) memberikan optimisme pada pasar modal Indonesia sebesar 3.48%. 

Saat ini Jokowi telah ditetapkan sebagai presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019. Pekerjaan berat telah menanti; pemotongan subsidi BBM, penentuan pajak premium, konektivitas infrastruktur maritim, konsolidasi birokrasi, kemudahan berbisnis, alokasi dana investasi adalah satu dari sekian banyak poin-poin masalah yang harus segera diselesaikan. Namun, jangan lupa, saat ini transformasi (perubahan) sifat ekonomi dan keuangan telah berubah, banyak teori yang sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan mekanisme pasar. Pasar telah merubah teori dan tingkah laku. Revolusi mental adalah satu dari metamorfosa kecepatan perubahan yang mutlak dilakukan.

Kalau investasi adalah satu dari sekian kata yang keluar dari Tim ekonomi Jokowi – JK ada baiknya mencotoh apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS).  The Economist (Oct 18th 14), menerangkan, membangun apa yang mendorong suatu investasi itu sulit, paling tidak karena mengembangkan dan kontrak yang terjalin jauh lebih dramatis daripada perkonomian secara keseluruhan. Data yang dikumpulkan sejak 1952 hingga saat ini menyimpulkan bahwa tingkat suku bunga pasar yang bertujuan untuk mempengaruhi skema bisnis dalam memainkan beberapa peran dalam banyak perusahaan dalam berinvestasi bekerja, tapi tidak banyak!

Asymmetric Loss Aversion
Pasar ini mengajari tentang banyak clue-clue cantik bermuara. Warren Buffet dalam artikelnya yang berjudul “Mastering the Power of the Focus Investment Strategy”.  Menekan-kan pentingnya memahami behavorial finance (perilaku keuangan) yang dimana suatu investigasi studi yang menjelaskan mengenai in-efisiensi di pasar dengan menggunakan teori psikologi. Beberapa di-antaranya ialah seperti; overconfidence, overreaction bias, loss aversion, mental accounting, serta risk tolerance. Saya hanya akan mengambil satu sampel yakni loss aversion yang berhubungan dengan tulisan saya diatas. Sisi negatif memiliki efek yang lebih besar di banding sisi positifnya dan ini dikenal sebagai loss aversion.

Sebagai contoh, dalam perekonomian yang sedang melaju konsumen biasanya membelanjakan 3.5 sen dari setiap dollar yang dihasilkan, namun ketika ekonomi sedang jatuh konsumen bisa mengurangi belanja mereka 2x dari pembelanjaan mereka di awal dari setiap dollar yang dihasilkan. Tentunya hal ini tidak perlu terjadi jika pasar dapat bekerja secara efisien dan informasi yang diterima dapat dengan baik digunakan oleh investor.

Perubahan kultur pasar dan teori ekonomi saat ini sedang terjadi, informasi yang terbatas dengan kelumpuhan teori yang di pandang benar akan memberikan kerugian yang sangat besar bagi investor. Tentu hal  ini perlu dijembatani dengan transparansi dan keakuratan data. Melihat apa yang terjadi di AS dengan kebijakan yang tidak relevan dengan pasar, sangat mungkin ini sudah terjadi di Indonesia. Investor melihat peluang investasi sangat besar dan mungkin semua akan lebih menarik dengan tingkat suku bunga yang rendah, kenyataannya data menunjukkan sebaliknya. Hasil ini sedang berjalan ke arah yang irrelevant.  

(Penulis : Aditya Perdana Putra M.M. , Economist & Equity Analyst Phillip Securities Indonesia)

(Source: PT AMCI Manajemen Investasi Indonesia)