Investor pasar modal pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok legendaris Warren Buffet, yang dikenal sebagai investor yang mempopulerkan strategi investasi value investing.
Strategi ini fokus pada investasi di saham-saham undervalued atau berharga murah tetapi tetap berkualitas, dengan fundamental yang kuat dan prospek pertumbuhan jangka panjang. Saham-saham ini biasanya diapresiasi seiring waktu, sehingga dapat dijual dalam keadaan untung. Namun, yang dimaksud jangka panjang dalam strategi ini adalah hitungan tahun, bahkan lebih dari tiga tahun, bukan dalam timeframe mingguan.
Melalui pendekatan value investing, perusahaan Buffett, Berkshire Hathaway, berhasil mencatatkan return investasi yang konsisten. Dari tahun 1965 hingga 2023, Berkshire Hathaway membukukan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 19,8 persen, jauh melampaui kinerja indeks S&P 500 yang berada di level 10,2 persen pada periode yang sama.
Baru-baru ini, Warren Buffett melakukan sejumlah aksi taking profit dengan menjual saham-saham besar dalam portofolionya, seperti Apple dan Bank of America. Dari Juli hingga September 2024, Buffett sudah menjual saham senilai $36,1 miliar. Pada Oktober, dia juga mengurangi lebih dari 10 persen kepemilikannya di Bank of America (BAC). Aksi ini membuat Berkshire Hathaway kini memiliki cash and equivalents sebesar $325 miliar, di mana lebih dari $288 miliar disimpan dalam bentuk U.S. Treasury Bill, surat utang negara AS dengan tenor kurang dari satu tahun yang menawarkan bunga sekitar 4 persen. Jumlah ini setara 28 persen dari total aset Berkshire Hathaway dan merupakan yang tertinggi sejak 1990.
Langkah ini mencerminkan pandangan Buffett pada Mei lalu, ketika menyatakan bahwa return dari investasi di Treasury Bill lebih menarik dibandingkan peluang yang tersedia di pasar saham AS saat ini. Secara tidak langsung, Buffett melihat pasar saham AS sedang dalam kondisi overvalued, sehingga potensi return-nya dinilai lebih rendah dibandingkan Treasury Bill.
Lantas, pelajaran apa yang bisa kamu petik dari langkah investasi Warren Buffet tersebut?
1. Jual Ketika Overvalued
Sebagai value investor, jika harga saham sudah overvalued (melebihi harga wajar hasil valuasi fundamental), pertimbangkan untuk menjualnya dalam kondisi untung.
2. Fleksibilitas dalam Alokasi Dana
Tidak semua uang harus diinvestasikan di pasar saham. Jika tidak ada saham undervalued dengan potensi return yang jelas lebih tinggi dari indeks, tidak masalah menahan diri dan menunggu.
3. Alternatif Instrumen Likuid
Jika belum menemukan peluang investasi menarik, uang tidak perlu hanya disimpan di RDN atau tabungan dengan bunga kecil. Pertimbangkan instrumen finansial likuid dengan tenor pendek seperti deposito atau reksa dana pasar uang.
Di Indonesia, rata-rata return reksa dana pasar uang sekitar 4 persen per tahun, serupa dengan U.S. Treasury Bill. Ini bisa menjadi strategi sementara sambil menunggu peluang investasi yang lebih menarik.
Tambah pengetahuan seputar value investing dan strategi investasi lainnya dengan cara mengikuti kelas edukasi gratis dari Tim Edukasi Phillip Sekuritas Indonesia yang rutin diadakan setiap minggunya. Cek jadwal kelasnya melalui menu Online Seminar di aplikasi POEMS Mobile.
Phillip Sekuritas Indonesia, Your Partner in Finance.
“Be a Smart Investor with Phillip Sekuritas Indonesia”
* Disclaimer ON
Penulis: Joshua Marcius
Editor: Abdul Razak
Baca artikel lainnya:
Scalping Gesit, Cuan Melejit Pakai Fitur SWIFT di ProTrader
Kilas Balik 2023; Investor SBN Ritel Meningkat Pesat
Makin Banyak Transaksi, Makin Banyak Benefit dari Loyalty Program di POEMS
Foreign Flow: Cara Memprediksi Pergerakan Investor Asing di Pasar Saham
|
|
|
|