Beberapa waktu lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengumumkan rencana pemberlakuan tarif impor baru sebesar 25 persen pada seluruh produk baja dan aluminium yang masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan ini merupakan bagian dari eskalasi kebijakan perdagangan proteksionis Trump, yang dinilai berpotensi memicu ketegangan dagang global.
Tarif tersebut akan diterapkan di atas bea masuk yang sudah ada sebelumnya, yang sebelumnya berkisar antara 10-25 persen tergantung negara asal. Langkah ini menuai kritik dari sejumlah mitra dagang Amerika Serikat, termasuk Uni Eropa dan Tiongkok, yang mengancam akan membalas dengan sanksi serupa.
Apa saja dampak yang ditimbulkan terhadap kenaikan tarif baja dan aluminium ini? Bagaimana pula respon Pemerintah Indonesia menyikapinya? Simak selengkapnya dalam artikel ini.
Dampak yang Ditimbulkan dari Kenaikan Tarif Baja dan Aluminium
Kebijakan tarif baja dan aluminium Trump bukanlah yang pertama. Sejak tahun 2018, Amerika Serikat telah menerapkan kebijakan serupa dengan alasan "keamanan nasional" yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, kenaikan tarif kali ini dinilai lebih agresif dan berpotensi memperburuk hubungan dagang global.
Trump berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja di sektor manufaktur Amerika Serikat dan mengurangi ketergantungan pada impor. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa langkah ini dapat memicu perang dagang baru, memperlambat pertumbuhan ekonomi global, dan meningkatkan ketidakpastian pasar.
Kebijakan tarif ini langsung mengguncang pasar logam global. Harga baja dan aluminium di pasar internasional berpotensi turun akibat kelebihan pasokan (overstock) dari ekspor yang terhambat ke Amerika Serikat. Hal ini sangat berdampak persaingan antar produsen logam, termasuk Indonesia di pasar Amerika Serikat.
Lalu, Bagaimana Dampaknya terhadap Pasar Saham Indonesia?
Indonesia sebagai eksportir baja dan aluminium, berpotensi terdampak oleh kebijakan ini. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, ekspor baja Indonesia ke Amerika Serikat pada tahun 2023 mencapai sekitar USD 350 juta dan ekspor aluminium sekitar USD 150 juta. Jika menyesuaikan dengan tarif impor baru 25 persen, produk Indonesia akan semakin mahal, sehingga dapat mengurangi daya saing dan berpotensi menurunkan volume ekspor.
Beberapa dampak lain yang akan ditimbulkan, di antaranya:
1. Tekanan pada Saham Sektor Logam dan Pertambangan
Saham emiten baja, aluminium, dan pertambangan berpotensi tertekan dalam jangka pendek. Beberapa investor mungkin melakukan aksi jual akibat kekhawatiran penurunan profitabilitas perusahaan.
2. Pelemahan Rupiah dan Arus Modal Asing
Ketegangan perdagangan global biasanya memicu flight to safety, di mana investor memindahkan aset ke instrumen safe-haven seperti dolar Amerika Serikat atau emas. Hal ini dapat melemahkan Rupiah (apresiasi USD/IDR) dan memicu arus keluar modal asing dari pasar saham Indonesia. IHSG berpotensi turun mengikuti sentimen negatif pasar.
3. Dampak Tidak Langsung pada Sektor Lain
Sektor konstruksi dan properti mungkin terdampak jika harga baja domestik naik akibat kelebihan pasokan (overstock) dari ekspor yang terhambat. Sektor manufaktur, terutama yang bergantung pada bahan baku impor, bisa menghadapi kenaikan biaya produksi jika terjadi perlombaan tarif global
4. Peluang Diversifikasi Pasar
Di sisi positif, tekanan ini mungkin mendorong Indonesia memperkuat kerja sama dagang dengan negara lain, seperti anggota ASEAN atau Timur Tengah, untuk mengalihkan ekspor. Jika berhasil, sentimen positif dapat muncul pada emiten yang berhasil membuka pasar baru.
Respon Pemerintah dan Proyeksi ke Depan
Menghadapi kebijakan kenaikan impor tersebut, Pemerintah Indonesia diprediksi akan merespon dengan beberapa cara, seperti:
1. Bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk pengecualian tarif, mengingat volume ekspor Indonesia kesana tidak sebesar Tiongkok atau India.
2. Memberikan insentif fiskal atau subsidi sementara kepada industri logam untuk menjaga stabilitas produksi.
3. Mempercepat implementasi hilirisasi industri mineral untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia memprediksi bahwa dampak jangka panjang akan bergantung pada respon kebijakan Indonesia dan dinamika perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Jika konflik meluas, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mungkin berada dalam tekanan di sepanjang tahun 2025. Di sisi lain fundamental ekonomi Indonesia yang kuat dengan proyeksi pertumbuhan 5 persen dan tingkat inflasi yang terkendali bisa menjadi penopang dalam memulihkan kondisi ekonomi dalam negeri.
Ikuti terus perkembangan kondisi ekonomi dan pasar modal Indonesia dengan mengikuti Phillip Morning Market Call bersama Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia yang diadakan setiap hari bursa pukul 08:30 - 09:30 WIB melalui Zoom. Cek link pendaftarannya melalui menu Online Seminar di POEMS Mobile.
Phillip Sekuritas Indonesia, Your Partner in Finance.
“Be a Smart Investor with Phillip Sekuritas Indonesia”
* Disclaimer ON
Penulis: Edo Ardiansyah
Editor: M. Rizki Aidil
Baca artikel lainnya:
PP Naik 12 Persen, Ini Dampaknya Terhadap IHSG dan Ekonomi Indonesia
Baru Listing, Saham AADI Turun Apa Penyebabnya
Strategi Memaksimalkan Dana Darurat di 2025: Pilih Instrumen Ini!
Strategi Value Investing Ala Warren Buffet, Pelan Tapi Cuan
|